BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENGERTIAN
Apendisitis
adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering. Pada masyarakat umum,sering juga
disebut dengan istilah radang usus buntu. Akan tetapi, istilah usus buntu yang
selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang
merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum).
Sedangkan apendiks atau yang sering disebut
juga dengan umbai cacing adalah organ tambahan pada usus buntu. Umbai cacing
atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah
ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum.
B.
ANATOMI
Umbai
cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Apendiks merupakan organ yang
berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm)
dan pada orang dewasa umbai cacing berukuran sekitar 10 cm. Walaupun lokasi
apendiks selalu tetap yaitu berpangkal di sekum, lokasi ujung umbai cacing bisa
berbeda-beda, yaitu di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang pasti tetap
terletak di peritoneum.
Apendiks
memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada bagian distal. Saat
lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum. Selama
anak-anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih
dalam intraperitoneal. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu
dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi
apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic
(21%), Patileal(5%), Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).
Apendiks
dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian bawah
arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk arteri akhir atau ujung. Apendiks
memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus
limfe ileocaecal.
C.
FUNGSI APENDIKS
Organ
apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai
fungsi. Tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ
imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu
kekebalan tubuh). Immunoglobulin sekretoal merupakan zat pelindung yang efektif
terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak
terdapat di dalam apendiks adalah Ig-A. Namun demikian, adanya pengangkatan
terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah
jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan
dengan yang ada pada saluran cerna lain.
Selain itu, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2
ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya
dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut merupakan salah satu penyebab timbulnya
appendisitis.
Fungsi appendiks masih mengalami banyak perdebatan, namun para ahli
meyakini antara lain sebagai berikut :
1.
Berkaitan
dengan sistem kekebalan tubuh
Antara lain menghasilkan Immunoglobulin A (IgA) seperti halnya bagian
lain dari usus. IgA merupakan salah satu immunoglobulin (antibodi) yang sangat
efektif melindungi tubuh dari infeksi kuman penyakit. Loren G. Martin,
professor fisiologi dari Oklahoma State University, berpendapat bahwa
appendiks memiliki fungsi pada fetus dan dewasa. Telah ditemukan sel
endokrinpada appendiks dari fetus umur 11 minggu yang berperanan dalam mekanisme kontrol biologis (homeostasis).
Pada dewasa, Martin berpendapat bahwa appendiks sebagai organ limfatik. Dalam
penelitiannya terbukti appendiks kaya akan sel limfoid, yang menunjukkan bahwa
appendiks mungkin memainkan peranan pada sistem imun. Pada dekade terakhir para
ahli bedah berhenti mengangkat appendiks saat melakukan prosedur pembedahan
lainnya sebagai suatu tindakan pencegahan rutin, pengangkatan appendiks hanya
dilakukan dengan indikasi yang kuat, oleh karena pada kelainan saluran kencing
tertentu yang membutuhkan kemampuan menahan kencing yang baik (kontinen), apendiks
telah terbukti berhasil ditransplantasikan kedalam saluran kencing yang
menghubungkan buli (kandung kencing) dengan perut sehingga menghasilkan saluran
yang kontinen dan dapat mengembalikan fungsional dari buli.
2.
Apendiks
dianggap sebagai struktur vestigial (sisihan) yang tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh.
Dalam teori
evolusi, Joseph McCabe mengatakan:
The vermiform appendage—in which some recent medical writers have
vainly endeavoured to find a utility—is the shrunken remainder of a large and
normal intestine of a remote ancestor. This interpretation of it would stand
even if it were found to have a certain use in the human body. Vestigial organs
are sometimes pressed into a secondary use when their original function has
been lost.
Menurut Darwin,
Appendiks dulunya berguna dalam mencerna dedaunan seperti halnya pada primata.
Sejalan dengan waktu, kita memakan lebih sedikit sayuran dan mulai mengalami
evolusi, selama ratusan tahun, organ ini menjadi semakin kecil untuk memberi
ruang bagi perkembangan lambung. appendiks kemungkinan merupakan organ
vestigial dari manusia prasejarahyang mengalami degradasi dan hampir menghilang
dalam evolusinya. Bukti dapat ditemukan pada hewan herbivora seperti halnya
Koala. Sekum dari koala melekat pada perbatasan antara usus besar dan halus
seperti halnya manusia, namun sangat panjang, memungkinkan baginya untuk
menjadi tempat bagi bakteria spesifik untuk pemecahan selulosa. Sejalan dengan
manusia yang semakin banyak memakan makanan yang mudah dicerna, mereka semakin
sedikit memakan tanaman yang tinggi selulosa sebagai energi. Sekum menjadi
semakin tidak berguna bagi pencernaan hal ini menyebabkan sebagian dari sekum
semakin mengecil dan terbentuklah appendiks.
Teori evolusi menjelaskan seleksi natural bagi appendiks yang lebih besar
oleh karena appendiks yang lebih kecil dan tipis akan lebih baik bagi inflamasi
dan penyakit.
3.
Menjaga
Flora Usus
William Parker, Randy Bollinger, and colleagues at Duke
University mengajukan teori bahwa appendiks menjadi surga bagi
bakteri yang berguna, saat
penyakit menghilangkan semua bakteria tersebut dari seluruh usus. Teori ini
berdasarkan pada pemahaman baru bagaimana sistem imun mendukung pertumbuhan
dari bakteri usus yang berguna. Terdapat bukti bahwa appendiks
sebagai alat yang berfungsi dalam memulihkan bakteri yang berguna setelah
menderita diare.
Pada akhirnya semua makhluk yang diciptakan Allah adalah dengan maksud
dan tujuan tertentu. Kita harus menghargai setiap spesies dan organ yang ada
padanya sebagai sesuatu yang memiliki fungsi dan kegunaannya masing-masing.
D.
KLASIFIKASI APENDISITIS
Klasifikasi Apendisitis ada 2, yaitu :
1.
Apendisitis
Akut, dibagi atas :
a.
Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu
setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
b.
Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk
nanah.
Appendisitis akut dalam 48 jam dapat menjadi :
a.
Sembuh
b.
Kronik
c.
Perforasi
d.
Infiltrat
2.
Apendisitis
Kronis, dibagi atas :
a.
Apendisitis kronis fokalis atau parsial, yaitu setelah sembuh akan
timbul striktur lokal.
b.
Apendisitis kronis obliteritiva, yaitu appendiks miring dimana biasanya ditemukan
pada usia tua.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENYEBAB
Kita
sering mengasumsikan bahwa apendisitis berkaitan dengan makan biji cabai. Hal
ini tidak sepenuhnya salah. Namun yang mendasari terjadinya apendisitis adalah
adanya sumbatan pada saluran apendiks. Yang menjadi penyebab tersering
terjadinya sumbatan tersebut adalah fekalit. Fekalit terbentuk dari feses yang
terperangkap di dalam saluran apendiks. Selain fekalit, yang dapat menyebabkan
terjadinya sumbatan adalah cacing atau benda asing yang tertelan. Beberapa
penelitian menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat terhadap
timbulnya apendisitis. Kebiasaan makan makanan rendah serat dapat mengakibatkan
kesulitan dalam buang air besar, sehingga akan meningkatkan tekanan di dalam
rongga usus yang pada akhirnya akan menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks.
Selain
penyebab di atas apendisitis ini pada umumnya karena infeksi bakteri atau kuman. Infeksi kuman
dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus. Penyebab
lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh
parasit E. Histolytica.
Berbagai
hal berperan sebagai faktor penyebab terjadinya apendisitis. Diantaranya adalah
obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan
karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid,
tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Apendisitis merupakan salah satu penyakit
patologis.
Patologi
apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan
dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir)
setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen
apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah
banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena
keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut
akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan
timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium
di sekitar umbilikus.
Jika
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini
akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan
mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan
bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian
aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul
dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa.
Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti
apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya
tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini.
Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga
terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah
infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses
yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis
akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.
B.
GEJALA
Gejala
utama terjadinya apendisitis adalah adanya nyeri perut. Nyeri perut yang klasik
pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam
akan dirasakan berpindah ke daerah perut kanan bawah (sesuai lokasi apendiks).
Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya), nyeri
dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung apendiks yang
panjang dapat berada pada daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah
pusar. Anoreksia (penurunan nafsu makan) biasanya selalu menyertai apendisitis.
Mual dan muntah dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau
berlangsung cukup lama, kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali.
Dapat juga dirasakan keinginan untuk buang air besar atau buang angin. Demam
juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih
dari 1C (37,8 – 38,8C). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8C. Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan
yang lebih luas di daerah perut (peritonitis). Pada bayi dan anak-anak,
nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita
hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak
terlalu terasa. Bila apendiks pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat.
Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
Ada beberapa hal
yang penting dalam gejala penyakit apendisitis yaitu:
1.
Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang
beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri berhubungan dengan
anatomi ureter yang berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi.
2.
Muntah dan
mual oleh karena nyeri viseral. Nutrisi kurang dan volume cairan yang kurang dari kebutuhan juga berpengaruh dengan terjadinya
mual dan muntah.
3.
Suhu
tubuh meningkat dan nadi cepat (karena kuman yang menetap di dinding
usus).
4.
Rasa sakit hilang timbul
5.
Diare atau konstipasi
6.
Tungkai kanan tidak dapat atau terasa sakit jika diluruskan
7.
Perut
kembung
8.
Hasil pemeriksaan
leukosit meningkat 10.000 - 12.000 /ui dan 13.000/ui bila sudah terjadi
perforasi
9.
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan,
penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan.
Selain gejala tersebut masih ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak
apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1.
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal,
yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum). Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada tanda rangsangan
peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri
ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2.
Bila apendiks terletak di rongga pelvis
a.
Bila apendiks terletak di
dekat atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid
atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi
lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
b.
Bila apendiks terletak di
dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi
kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala
apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya,
sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa
keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1.
Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau
makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam
kemudian akan terjadi muntah-muntah dan anak menjadi lemah. Karena
ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi.
Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.
2.
Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas,
sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi
perforasi.
3.
Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya
gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat
genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan
lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis
berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang
biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum
dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di
perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
C.
PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
a.
Inspeksi, pada apendisitis
akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b.
Palpasi, pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa
nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut
kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut
kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda
Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah
dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda
Blumberg (Blumberg Sign).
c.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini juga dilakukan
untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang
menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini
akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
d.
Pemeriksaan colok dubur, pemeriksaan ini dilakukan pada
apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui.
Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks
yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
a.
Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein
reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara
10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP
ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b.
Radiologi, terdiri
dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan
ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi
inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang
menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum.
D.
DIAGNOSIS
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis masih
mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering
terjadi ada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat
pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan yang mirip
apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi,
menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan
angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi
penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang
dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi
diagnosis pada kasus yang meragukan.
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang
paling tepat adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi dapat dilakukan
dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis
baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang
pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi
terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap
kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu,
barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai
dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8
minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada
keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi
antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.
E. PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN
Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah operasi. Pernah dicoba
pengobatan dengan antibiotik, walaupun sembuh namun tingkat kekambuhannya
mencapai 35 %. Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup
(laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan atau apendektomi, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10
hari.
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur
(pecah), terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis).
Pada hampir 15% pembedahan apendiks, apendiksnya
ditemukan normal. Tetapi penundaan pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri
perutnya, dapat berakibat fatal. Apendiks yang terinfeksi bisa pecah dalam waktu kurang dari 24
jam setelah gejalanya timbul. Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, apendiks tetap diangkat. Lalu
dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab nyeri yang
sebenarnya.
Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi angka kematian pada
apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan
penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Apendiks yang pecah, prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang
lalu, kasus yang ruptur sering berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik,
angka kematian mendekati nol.
F.
KOMPLIKASI
Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi apendiks mungkin didahului oleh adanya
penyumbatan di dalam apendiks.
Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, apendiks bisa pecah. Apendiks yang pecah bisa menyebabkan :
1.
Perforasi dengan pembentukan abses.
2.
Peritonitis generalisata, masuknya kuman
usus ke dalam perut, menyebabkan
peritonitis, yang bisa berakibat fatal.
3.
Masuknya
kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal.
4.
Pada
wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan
pada saluran indung telur yang
bisa menyebabkan kemandulan.
Pieloflebitis dan
abses hati, tapi jarang terjadi.
0 komentar:
Posting Komentar