Jumat, 14 Juni 2013

BAB I
PENDAHULUAN


A.                PENGERTIAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Pada masyarakat umum,sering juga disebut dengan istilah radang usus buntu. Akan tetapi, istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah sekum (caecum).
 Sedangkan apendiks atau yang sering disebut juga dengan umbai cacing adalah organ tambahan pada usus buntu. Umbai cacing atau dalam bahasa Inggris, vermiform appendix (atau hanya appendix) adalah ujung buntu tabung yang menyambung dengan caecum.

B.                 ANATOMI
Umbai cacing terbentuk dari caecum pada tahap embrio. Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan pada orang dewasa umbai cacing berukuran sekitar 10 cm. Walaupun lokasi apendiks selalu tetap yaitu berpangkal di sekum, lokasi ujung umbai cacing bisa berbeda-beda, yaitu di retrocaecal atau di pinggang (pelvis) yang pasti tetap terletak di peritoneum.
Apendiks memiliki lumen sempit dibagian proximal dan melebar pada bagian distal. Saat lahir, apendiks pendek dan melebar dipersambungan dengan sekum. Selama anak-anak, pertumbuhannya biasanya berotasi ke dalam retrocaecal tapi masih dalam intraperitoneal. Pada apendiks terdapat 3 tanea coli yang menyatu dipersambungan caecum dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi apendiks. Posisi apendiks terbanyak adalah Retrocaecal (74%) lalu menyusul Pelvic (21%), Patileal(5%), Paracaecal (2%), subcaecal(1,5%) dan preleal (1%).
Apendiks dialiri darah oleh arteri apendicular yang merupakan cabang dari bagian bawah arteri ileocolica. Arteri apendiks termasuk arteri akhir atau ujung. Apendiks memiliki lebih dari 6 saluran limfe melintangi mesoapendiks menuju ke nodus limfe ileocaecal.

C.                 FUNGSI APENDIKS
Organ apendiks pada awalnya dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi. Tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh). Immunoglobulin sekretoal merupakan zat pelindung yang efektif terhadap infeksi (berperan dalam sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks adalah Ig-A. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada saluran cerna lain.
 Selain itu, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari. Lendir itu secara normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut  merupakan salah satu penyebab timbulnya appendisitis.
Fungsi appendiks masih mengalami banyak perdebatan, namun para ahli meyakini antara lain sebagai berikut :
1.                  Berkaitan dengan sistem kekebalan tubuh
Antara lain menghasilkan Immunoglobulin A (IgA) seperti halnya bagian lain dari usus. IgA merupakan salah satu immunoglobulin (antibodi) yang sangat efektif melindungi tubuh dari infeksi kuman penyakit. Loren G. Martin, professor fisiologi dari Oklahoma State University, berpendapat bahwa appendiks memiliki fungsi pada fetus dan dewasa. Telah ditemukan sel endokrinpada appendiks dari fetus umur 11 minggu yang berperanan dalam mekanisme kontrol biologis (homeostasis). Pada dewasa, Martin berpendapat bahwa appendiks sebagai organ limfatik. Dalam penelitiannya terbukti appendiks kaya akan sel limfoid, yang menunjukkan bahwa appendiks mungkin memainkan peranan pada sistem imun. Pada dekade terakhir para ahli bedah berhenti mengangkat appendiks saat melakukan prosedur pembedahan lainnya sebagai suatu tindakan pencegahan rutin, pengangkatan appendiks hanya dilakukan dengan indikasi yang kuat, oleh karena pada kelainan saluran kencing tertentu yang membutuhkan kemampuan menahan kencing yang baik (kontinen), apendiks telah terbukti berhasil ditransplantasikan kedalam saluran kencing yang menghubungkan buli (kandung kencing) dengan perut sehingga menghasilkan saluran yang kontinen dan dapat mengembalikan fungsional dari buli.
2.                  Apendiks dianggap sebagai struktur vestigial (sisihan) yang tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh.
Dalam teori evolusi, Joseph McCabe mengatakan:
The vermiform appendage—in which some recent medical writers have vainly endeavoured to find a utility—is the shrunken remainder of a large and normal intestine of a remote ancestor. This interpretation of it would stand even if it were found to have a certain use in the human body. Vestigial organs are sometimes pressed into a secondary use when their original function has been lost.
Menurut Darwin, Appendiks dulunya berguna dalam mencerna dedaunan seperti halnya pada primata. Sejalan dengan waktu, kita memakan lebih sedikit sayuran dan mulai mengalami evolusi, selama ratusan tahun, organ ini menjadi semakin kecil untuk memberi ruang bagi perkembangan lambung. appendiks kemungkinan merupakan organ vestigial dari manusia prasejarahyang mengalami degradasi dan hampir menghilang dalam evolusinya. Bukti dapat ditemukan pada hewan herbivora seperti halnya Koala. Sekum dari koala melekat pada perbatasan antara usus besar dan halus seperti halnya manusia, namun sangat panjang, memungkinkan baginya untuk menjadi tempat bagi bakteria spesifik untuk pemecahan selulosa. Sejalan dengan manusia yang semakin banyak memakan makanan yang mudah dicerna, mereka semakin sedikit memakan tanaman yang tinggi selulosa sebagai energi. Sekum menjadi semakin tidak berguna bagi pencernaan hal ini menyebabkan sebagian dari sekum semakin mengecil dan terbentuklah appendiks.
Teori evolusi menjelaskan seleksi natural bagi appendiks yang lebih besar oleh karena appendiks yang lebih kecil dan tipis akan lebih baik bagi inflamasi dan penyakit.
3.                  Menjaga Flora Usus
William Parker, Randy Bollinger, and colleagues at Duke University mengajukan teori bahwa appendiks menjadi surga bagi bakteri yang berguna, saat penyakit menghilangkan semua bakteria tersebut dari seluruh usus. Teori ini berdasarkan pada pemahaman baru bagaimana sistem imun mendukung pertumbuhan dari bakteri usus yang berguna. Terdapat bukti bahwa appendiks sebagai alat yang berfungsi dalam memulihkan bakteri yang berguna setelah menderita diare.
Pada akhirnya semua makhluk yang diciptakan Allah adalah dengan maksud dan tujuan tertentu. Kita harus menghargai setiap spesies dan organ yang ada padanya sebagai sesuatu yang memiliki fungsi dan kegunaannya masing-masing.




D.                KLASIFIKASI APENDISITIS
Klasifikasi Apendisitis ada 2, yaitu :
1.        Apendisitis Akut, dibagi atas :
a.         Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
b.                  Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
Appendisitis akut dalam 48 jam dapat menjadi :
a.                   Sembuh
b.                  Kronik
c.                   Perforasi
d.                  Infiltrat
2.                  Apendisitis Kronis, dibagi atas :
a.                   Apendisitis kronis fokalis atau parsial, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal.
b.                  Apendisitis kronis obliteritiva, yaitu appendiks miring dimana biasanya ditemukan pada usia tua.






BAB II
PEMBAHASAN

A.                PENYEBAB
Kita sering mengasumsikan bahwa apendisitis berkaitan dengan makan biji cabai. Hal ini tidak sepenuhnya salah. Namun yang mendasari terjadinya apendisitis adalah adanya sumbatan pada saluran apendiks. Yang menjadi penyebab tersering terjadinya sumbatan tersebut adalah fekalit. Fekalit terbentuk dari feses yang terperangkap di dalam saluran apendiks. Selain fekalit, yang dapat menyebabkan terjadinya sumbatan adalah cacing atau benda asing yang tertelan. Beberapa penelitian menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat terhadap timbulnya apendisitis. Kebiasaan makan makanan rendah serat dapat mengakibatkan kesulitan dalam buang air besar, sehingga akan meningkatkan tekanan di dalam rongga usus yang pada akhirnya akan menyebabkan sumbatan pada saluran apendiks.
Selain penyebab di atas apendisitis ini pada umumnya karena  infeksi bakteri atau kuman. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan streptococcus. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. Histolytica.
Berbagai hal berperan sebagai faktor penyebab terjadinya apendisitis. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Apendisitis merupakan salah satu penyakit patologis.
Patologi apendisitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama mukus makin bertambah  banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan  menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah epigastrium di sekitar umbilikus.
Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami ganggren ini pecah, itu berarti apendisitis berada dalam keadaan perforasi.
Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.


B.                 GEJALA
Gejala utama terjadinya apendisitis adalah adanya nyeri perut. Nyeri perut yang klasik pada apendisitis adalah nyeri yang dimulai dari ulu hati, lalu setelah 4-6 jam akan dirasakan berpindah ke daerah perut kanan bawah (sesuai lokasi apendiks). Namun pada beberapa keadaan tertentu (bentuk apendiks yang lainnya), nyeri dapat dirasakan di daerah lain (sesuai posisi apendiks). Ujung apendiks yang panjang dapat berada pada daerah perut kiri bawah, punggung, atau di bawah pusar. Anoreksia (penurunan nafsu makan) biasanya selalu menyertai apendisitis. Mual dan muntah dapat terjadi, tetapi gejala ini tidak menonjol atau berlangsung cukup lama, kebanyakan pasien hanya muntah satu atau dua kali. Dapat juga dirasakan keinginan untuk buang air besar atau buang angin. Demam juga dapat timbul, tetapi biasanya kenaikan suhu tubuh yang terjadi tidak lebih dari 1C (37,8 – 38,8C). Jika terjadi peningkatan suhu yang melebihi 38,8C. Maka kemungkinan besar sudah terjadi peradangan yang lebih luas di daerah perut (peritonitis). Pada bayi dan anak-anak, nyerinya bersifat menyeluruh, di semua bagian perut. Pada orang tua dan wanita hamil, nyerinya tidak terlalu berat dan di daerah ini nyeri tumpulnya tidak terlalu terasa. Bila apendiks pecah, nyeri dan demam bisa menjadi berat. Infeksi yang bertambah buruk bisa menyebabkan syok.
Ada beberapa hal yang penting dalam gejala penyakit apendisitis yaitu:
1.                  Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Nyeri berhubungan dengan anatomi ureter yang berdekatan dengan apendiks oleh inflamasi.
2.                  Muntah dan mual oleh karena nyeri viseral. Nutrisi kurang dan volume cairan yang kurang dari kebutuhan juga berpengaruh dengan terjadinya mual dan muntah.
3.                  Suhu tubuh meningkat dan nadi cepat (karena kuman yang menetap di dinding usus).
4.                  Rasa sakit hilang timbul
5.                  Diare atau konstipasi
6.                  Tungkai kanan tidak dapat atau terasa sakit jika diluruskan
7.                  Perut kembung
8.                  Hasil pemeriksaan leukosit meningkat 10.000 - 12.000 /ui dan 13.000/ui bila sudah terjadi perforasi
9.                  Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan.
Selain gejala tersebut masih ada beberapa gejala lain yang dapat timbul sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut.
1.                  Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang sekum (terlindung oleh sekum). Tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda  rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih kearah perut kanan atau nyeri timbul pada saat melakukan gerakan seperti berjalan, bernapas dalam, batuk, dan mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
2.              Bila apendiks terletak di rongga pelvis
a.              Bila apendiks terletak di dekat  atau menempel pada rektum, akan timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga peristalsis meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang (diare).
b.             Bila apendiks  terletak di dekat atau menempel pada kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena rangsangannya dindingnya.
Gejala apendisitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan diagnosis, dan akibatnya apendisitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya baru diketahui setelah terjadi perforasi. Berikut beberapa keadaan dimana gejala apendisitis tidak jelas dan tidak khas.
1.                  Pada anak-anak
Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah-muntah dan anak menjadi lemah. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.
2.                  Pada orang tua berusia lanjut
Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.
3.                  Pada wanita
Gejala apendisitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa dengan apendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul, atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala apendisitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih  ke regio lumbal kanan.

C.                 PEMERIKSAAN
1. Pemeriksaan Fisik
a.                   Inspeksi,  pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,  sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b.                  Palpasi, pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri.  Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing (Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c.                   Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika.
d.                  Pemeriksaan colok dubur, pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika.
2. Pemeriksaan Penunjang
a.                   Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b.                   Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada  pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang  terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

D.                DIAGNOSIS
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering terjadi ada perempuan dibanding laki-laki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering mengalami gangguan yang mirip apendisitis. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis, atau penyakit ginekologik lain.Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 1-2 jam. Foto barium kurang dapat dipercaya. Ultrasonografi dan laparoskopi bisa meningkatkan akurasi diagnosis pada kasus yang meragukan.
Bila dari hasil diagnosis positif apendisitis akut, maka tindakan yang paling tepat adalah segera dilakukan apendektomi. Apendektomi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu cara terbuka dan cara laparoskopi. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian/terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut, yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendisektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah.

E.   PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN
Penatalaksanaan standar untuk apendisitis adalah operasi. Pernah dicoba pengobatan dengan antibiotik, walaupun sembuh namun tingkat kekambuhannya mencapai 35 %. Pembedahan dapat dilakukan secara terbuka atau semi-tertutup (laparoskopi). Setelah dilakukan pembedahan atau apendektomi, harus diberikan antibiotika selama 7 – 10 hari.
Pembedahan segera dilakukan, untuk mencegah terjadinya ruptur (pecah), terbentuknya abses atau peradangan pada selaput rongga perut (peritonitis).
Pada hampir 15% pembedahan apendiks, apendiksnya ditemukan normal. Tetapi penundaan pembedahan sampai ditemukan penyebab nyeri perutnya, dapat berakibat fatal. Apendiks yang terinfeksi bisa pecah dalam waktu kurang dari 24 jam setelah gejalanya timbul. Bahkan meskipun apendisitis bukan penyebabnya, apendiks tetap diangkat. Lalu dokter bedah akan memeriksa perut dan mencoba menentukan penyebab nyeri yang sebenarnya.
Pembedahan yang segera dilakukan bisa mengurangi angka kematian pada apendisitis. Penderita dapat pulang dari rumah sakit dalam waktu 2-3 hari dan penyembuhan biasanya cepat dan sempurna. Apendiks yang pecah, prognosisnya lebih serius. 50 tahun yang lalu, kasus yang ruptur sering berakhir fatal. Dengan pemberian antibiotik, angka kematian mendekati nol.
F.                  KOMPLIKASI
Pada kebanyakan kasus, peradangan dan infeksi apendiks mungkin didahului oleh adanya penyumbatan di dalam apendiks. Bila peradangan berlanjut tanpa pengobatan, apendiks bisa pecah. Apendiks yang pecah bisa menyebabkan :
1.                  Perforasi dengan pembentukan abses.
2.                  Peritonitis generalisata, masuknya kuman usus ke dalam perut, menyebabkan peritonitis, yang bisa berakibat fatal.
3.                  Masuknya kuman ke dalam pembuluh darah (septikemia), yang bisa berakibat fatal.
4.                  Pada wanita, indung telur dan salurannya bisa terinfeksi dan menyebabkan penyumbatan pada saluran indung telur yang bisa menyebabkan kemandulan.
Pieloflebitis dan abses hati, tapi jarang terjadi.
Read More ->>
PENGKAJIAN PEMERIKSAAN FISIK

A.     PENDAHULUAN
Perawat masa kini dituntut untuk dapat menguasai dan mengaplikasikan metode pendekatan pemecahan masalah (problem solving approach) didalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien.
Maka perawat harus mempunyai pengetahuan dan kterampilan mengkaji, merumuskan diagnosis keperawatan, memformulasikan rencana tindakan keperawatan, dan membuat evaluasi.
Pengkajian merupakan tahap yang paling utama dalam proses keperawatan, dimana pada tahap ini perawat melakukkan pengkajian data yang diperoleh dari hasil waawancara/anammesis, laporan teman sejawat, catatan kesehatan lain dan hasil dari pengkajian fisik.

Pengkajian fisik dalam keperawatan pada dasarnya mengunakan cara-cara yang sama dengan ilmu kedokteran yaitu: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pengkajian fisik kedokteran biasanya dilakukan dan diklasifikasikan menurut sisitem tubuh manusia dimana tujuan akhirnya adalah untuk menentukan penyebab dan jenis penyakit yang diderita pasien. Sedangkan pengkajian fisik bagi perawat yaitu untuk menentukan  respon pasien terhadap penyakit/berfokus pada respon yang ditimbulkan pasien akibat masalah kesehatan yang sudah di diagnose oleh dokter.
Dengan kata lain perawat meneruskan tindakan keperawatan kepada pasien yang sudah di diagnosis oleh dokter.
Karena dari diagnosa dokter akan muncul berbagai masalah  keperawatan yang dialami pasien, sebagai contoh : pasien dengan diagnosa dokter ‘ stroke hemoragik” disini akan muncul masalah keperawatan: 1. Gangguan kesadaran. 2. Gangguan mobilitas fisik. 3. Dan masih banyak gangguan-gangguan  kesehatan yang lain.
·     Adapun prinsip-prinsip umum dalam melakukan pengkajian fisik adalah sebagai berikut:
-         Menjaga kesopanan
-         Cara mengadakan hubungan dengan pasien/kontrak
-         Pencahayaan dan lingkungan yang memadai
-         Privacy / menutup ruangan atau tempat tidur dengan tirai.
B.     PENGERTIAN
Pemeriksaan fisik adalah tindakan keperawatan untuk mengkaji bagian tubuh pasien baik secara lokal atau  (head to toe) guna memperoleh informasi/data dari keadaan pasien secara komprhensif  untuk menegakkan suatu diagnosa keperawatan maupun kedokteran.

C.     TUJUAN
-      Untuk mencari masalah keperawatan
-      Untuk menegakkan / merumuskan diagnose keperawatan/kedokteran
-      Untuk membantu proses rencana keperawatan dan pengoatan

D.    PROSEDUR TINDAKAN
PEMERIKSAAN FISIK DARI KEPALA s.d UJUNG KAKI (HEAD TO TOE)

Note: sebelum melakukan pemeriksaan fisik perawat harus melakukan kontrak dengan pasien, yang didalamnya ada penjelasan maksud dan tujuan, waktu yang di perlukan dan terminasi/ mengakhiri.
Tahap-tahap pemeriksaan fisik haruskan dilakukan secara urut dan menyeluruh dan dimulai dari bagian tubuh sebagai berikut:
1.      Kulit, rambut dan kuku
2.      Kepala meliputi: mata, hidung, telinga dan mulut
3.      Leher : posisi dan gerakan trachea, JVP
4.      Dada : jantung dan paru
5.      Abdomen: pemeriksaan dangkal dan dalam
6.      Genetalia
7.      Kekuatan otot /musculosekletal
8.      Neurologi

·  Tahap-tahap pelaksanaanya adalah sebagai berikut:

a.      PEMERIKSAAN KULIT, RAMBUT DAN KUKU:

§  KULIT:
Tujuan: 
-         Untuk mengetahui turgor kulit dan tekstur kulit
-         Untuk mengetahui adanya lesi atau bekas luka
   Tindakan:
I =  Inspeksi: lihat ada/tidak adanya lesi, hiperpigmentasi (warna kehitaman/kecoklatan), edema, dan distribusi rambut kulit.
P = Palpasi: di raba dan tentukan turgor kulit elastic atau tidak, tekstur : kasar /halus, suhu : akral dingin atau hangat.

§  RAMBUT:
Tujuan:
-         Untuk menbetahui warna, tekstur dan percabangan pada rambut
-         Untuk mengetahui mudah rontok dan kotor
Tindakan:         
I = disribusi rambut merata atau tidak, kotor atau tidak, bercabang
P = mudah rontok/tidak, tekstur: kasar/halus
§  KUKU:
Tujuan:
-         Untuk mengetahui keadaan kuku: warna dan panjang
-         Untuk mengetahui kapiler refill
Tindakan:
I =  catat mengenai warna : biru: sianosis, merah: peningkatan visibilitas Hb, bentuk: clubbing karena hypoxia pada kangker paru, beau’s lines pada penyakit difisisensi fe/anemia fe
P = catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.

b.      PEMERIKSAAN KEPALA:
Tujuan:
-         Untuk mengetahui bentuk dan fungsi kepala
-         Untuk mengetahui luka dan kelainan pada kepala
Tindakan:
I =  Lihat kesimetrisan wajah jika, muka ka.ki berbeda atau misal lebih condong ke kanan atau ke kiri itu menunjukan ada parese/kelumpuhan, contoh: pada pasien SH.
P = Cari adanya luka, tonjolan patologik, dan respon nyeri dengan menekan kepala sesuai kebutuhan
§  MATA:
Tujuan:
-         Untuk mengetahui bentuk dan fungsi mata (medan pengelihatan, visus dan otot-otot mata)
-         Untuk mengetahui adanya kelainan atau peradangan pada mata
Tindakan:
I =  Kelopak mata ada radang atau tidak, simetris ka.ki atau tidak, reflek kedip baik/tidak, konjungtiva dan sclera: merah/konjungtivitis, ikterik/indikasi hiperbilirubin/gangguan pada hepar, pupil: isokor ka,ki (normal), miosis/mengecil, pin point/sangat kecil (suspek SOL),  medriasis/melebar/dilatasi (pada pasien sudah meninggal)
            Inspeksi gerakan mata:
-    Anjurkkan pasien untuk melihat lurus ke depan
-      Amati adanya nistagmus/gerakan bola mata ritmis(cepat/lambat)
-      Amati apakah kedua mata memandang ke depan atau ada yang deviasi
-      Beritahu pasien untuk memandan dan mengikuti jari anda, dan jaga posisi kepala pasien tetap lalu gerakkan jari ke 8 arah untuk mengetahui fungsi otot-otot mata.
Inspeksi medan pengelihatan:
-         Berdirilah didepan pasien
-         Kaji kedua mata secara terpisah yaitu dengan menutup mata yang tidak di periksa
-         Beritahu pasien untuk melihat lurus ke depan dan memfokuskan pada satu titik pandang, misal: pasien disuruh memandang hidung pemeriksa.
-         Kemudian ambil benda/ballpoint dan dekatkan kedepan hidung pemeriksa kemudian tarik atau jauhkan kesamping ka.ki pasien, suruh pasien mengatakan kapan dan dititik mana benda mulai tidak terlihat (ingat pasien tidak boleh melirik untuk hasil akurat). 
Pemeriksaan visus mata:
-         Siapkkan kartu snllen (dewasa huruf dan anak gambar)
-         Atur kursi pasien, dan tuntukan jarak antara kursi dan kartu, misal 5 meter (sesuai kebijakkan masing ada yang 6 dan 7 meter).
-         Atur penerangan yang memadai, agar dapat melihat dengan jelas.
-         Tutup mata yang tidak diperiksa dan bergantian kanan kiri
-         Memulai memeriksa dengan menyuruh pasien membaca dari huruf yang terbesar sampai yang terkecil yang dapat dibaca dengan jelas oleh pasien.
-         Catat hasil pemeriksaan dan tentukan hasil pemeriksaan.
-         Misal: hasil visus:
OD (Optik Dekstra/ka): 5/5
Berarti : pada jarak 5 m, mata masih bisa melihat huruf yang seharusnya dapat dilihat/dibaca pada jarak 5 m
OS (Optik Sinistra/ki) : 5/2
 Berarti : pada jarak 5 m, mata masih dapat melihat/membaca yang seharusnya di baca pada jarak 2 m.
P = Tekan secara ringan untuk mengetahui adanya TIO (tekanan intra okuler) jika ada peningkatan akan teraba keras (pasien glaucoma/kerusakan dikus optikus), kaji adanya nyeri tekan.

§  HIDUNG:
Tujuan:
-         Untuk mengetahui bentuk dan fungsi hidung
-         Untuk mendetahui adanya inflamasi/sinusitis
          Tindakan:
I =  Apakah hidung simetris, apakah ada inflamasi, apakah ada secret
P = Apakah ada nyeri tekan, massa

§  TELINGA
Tujuan:
-         Untuk mengetahui keadaan telinga luar, saluran telinga, gendang telinga
-         Untuk mengetahui fungsi pendengaran
Tindakan:
Telinga luar:
    I = Daun telinga simetris atau tidak, warna, ukuran, bentuk, kebresihan, adanya lesy.
P = Tekan daun telinga apakah ada respon nyeri, rasakan kelenturan kartilago.
Telinga dalam:
Note : Dewasa : Daun telinga ditarik ke atas agar mudah di lihat
           Anak     :  Daun telinga ditarik kebawah
I = Telinga dalam menggunakan otoskop perhatikan memberan timpani (warna, bentuk) adanya serumen, peradangan dan benda asing, dan darah.


                                Pemeriksaan pendengaran:
1)      Pemeriksaan dengan bisikan
-         Mengatur pasien berdiri membelakangi pemeriksa pada jarak 4-6 m
-         Mengistruksikan pada klien untuk menutup salah satu telinga yang tidak diperiksa.
-         Membisikan suatu bilangan misal “6 atau 5”
-         Menyuruh pasien mengulangi apa yang didengar
-         Melakukan pemeriksaan telinga yang satu
-         Bandingkan kemempuan mendengar telinga ka.ki
2)      Pemeriksaan dengan arloji
-         Mengatur susasana tenang.
-         Pegang sebuah arloji disamping telinga klien.
-         Menyuruh klien menyatakan apakah mendengar suara detak arloji.
-         Memimndahkan arloji secara berlahan-lahan menjauhi. telinga dan suruh pasien menyatakan tak mendengar lagi.
-         Normalnya pada jarak 30 cm masih dapat didengar.
3)      Pemeriksaan dengan garpu tala:
a.      Tes Rinne
-      Pegang garpu tala (GT) pada tangkainya dan pukulkan ketelapak tangan
-      Letakkan GT pada prosesus mastoideus klien
-      Menganjurkan klien mangatakan pada pemeriksa sewaktu tidak merasakan getaran
-      Kemudian angkat GT dengan cepat dan tempatkan didepan lubang telinga luar jarak 1-2 cm, dengan posisi parallel dengan daun telinga.
-      Mengistrusikan pada klien apakah masih mendengara atau tidak.
-      Mencatat hasil pemeriksaan
b.      Tes Weber
-      Pegang GT pada tangkainya dan pukulkan pada telapak tangan atau  jari
-      Letakkan tangkai GT di tengah puncak kepala/os. Frontalis atas.
-      Tanayakan pada klien apakah bunyi terdengar saama jelas antara telinga ka.ki atau hanya jelas pada satu sisi saja.
-      Mencatat hasil pemeriksaan
c.       Tes Swebeck
-      Untuk mengetahui membandingkan pendengaran pasien dengan pemeriksa
-      Dekatkan GT pada telinga klien kemudian dengan cepat di dekatkan ke telinga pemeriksa.

§  MULUT DAN FARING:
Tujuan:
-         Untuk mengetahui bentuk dan kelainan pada mulut
-         Untuk mengetahui kebersihan mulut
Tindakan:
   I = Amati bibir apa ada klainan kogenital (bibir sumbing), warna, kesimetrisan, kelembaban, pembengkakkan, lesi.
Amati jumlah dan bentuk gigi, gigi berlubang, warna, plak, dan kebersihan gigi
Inspeksi mulut dalam dan  faring:
-   Menyuruh pasien membuka mulut amati mucosa: tekstur, warna, kelembaban, dan adanya lesi
-   Amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi
-   Untuk melihat faring gunakan tongspatel yang sudah dibungkus kassa steril, kemudian minta klien menjulurkan lidah dan berkata “AH”  amati ovula/epiglottis simetris tidak terhadap faring, amati tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel).
P = Pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri.
      Lakukkan palpasi dasar mulut dengan menggunakkan jari telunjuk dengan memekai handscond, kemudian suruh pasien mengatakan kata “EL”  sambil menjulurkan lidah, pegang ujung lidah dengan kassa dan tekan lidah dengan jari telunjuk, posisi ibu jari menahan dagu. Catat apakah ada respon nyeri pada tindakan tersebut.

c.       LEHER
Tujuan:
-         Untuk menentukan struktur integritas leher
-         Untuk mengetahui bentuk leher dan organ yang berkaitan
-         Untuk memeriksa sistem limfatik
Tindakkan:
      I = Amati mengenai bentuk, warna kulit, jaringan parut
            Amati adanya pembengkakkan kelenjar tirod/gondok, dan adanya massa
            Amati kesimeterisan leher dari depan, belakang dan samping ka,ki.
            Mintalah pasien untuk mengerakkan leher (fleksi-ektensi ka.ki), dan merotasi- amati apakah bisa dengan mudah dan apa ada respon nyeri.
P = Letakkan kedua telapak tangan pada leher klien, suruh pasien menelan dan rasakan adanya kelenjar tiroid (kaji ukuran, bentuk, permukaanya.)
      Palpasi trachea apakah kedudukkan trachea simetris atau tidak.





d.      DADA/THORAX
§  PARU/PULMONALIS
Tujuan:
-         Untuk mengetahui bentuk, kesimetrisan, ekspansi paru
-         Untuk mengetahui frekuensi, irama pernafasan
-         Untuk mengetahui adanya nyeri tekan, adanya massa, peradangan, edema, taktil fremitus.
-         Untuk mengetahui batas paru dengan organ disekitarnya
-         Mendengarkan bunyi paru / adanya sumbatan aliran udara
Tindakkan:
I =  Amati kesimetrisan dada ka.ki, amati adanya retraksi interkosta, amati gerkkan paru.
      Amati klavikula dan scapula simetris atau tidak
P = Palpasi ekspansi paru:
-      Berdiri di depan klien dan taruh kedua telapak tangan pemeriksa di dada dibawah papilla, anjurkan pasien menarik nafas dalam, rasakkan apakah sama paru ki.ka.
-      Berdiri deblakang pasien, taruh telapak tangan pada garis bawah scapula/setinggi costa ke-10, ibu jari ka.ki di dekatkan jangan samapai  menempel, dan jari-jari di regangkan lebih kurang 5 cm dari ibu jari. Suruh pasien kembali menarik nafas dalam dan amati gerkkan ibu jari ka.ki sama atau tidak.
      Palpasi Taktil vremitus posterior dan anterior:
-      Meletakkan telapak tangan kanan di belakang dada tepat pada apex paru/stinggi supra scapula (posisi posterior) .
-      Menginstrusikkan pasien untuk mengucapkkan kata “Sembilan-sembilan” (nada rendah)
-      Minta klien untuk mengulangi mengucapkkan kata tersebut, sambil pemeriksa mengerakkan ke posisi ka.ki kemudian kebawah sampai pada basal paru atau setinggi vertebra thoraxkal ke-12.
-      Bandingkan vremitus pada kedua sisi paru
-      Bila fremitus redup minta pasien bicara lebih rendah
-      Ulangi/lakukkan pada dada anterior              
Pe/Perkusi =
-         Atur pasien dengan posisi supinasi
-         Untuk perkusi anterior dimulai batas clavikula lalu kebawah sampai intercosta 5 tentukkan batas paru ka.ki (bunyi paru normal : sonor seluruh lapang paru, batas paru hepar dan jantung: redup)
-         Jika ada edema paru dan efusi plura suara meredup.
Aus/auskultasi =
-            Gunakkan diafragma stetoskop untuk dewasa dan bell pada anak
-            Letakkan stetoskop pada interkostalis, menginstruksikkan pasien untuk nafas pelan kemudian dalam dan dengarkkan bunyi nafas: vesikuler/wheezing/creckels

§  JANTUNG/CORDIS
I =  Amati denyut apek jantung pada area midsternu lebih kurang 2 cm disamping bawah xifoideus.
P = Merasakan adanya pulsasi
-   Palpasi spasium interkostalis ke-2 kanan untuk menentukkan area aorta dan spasium interkosta ke-2 kiri letak pulmonal kiri.
-   Palpasi spasium interkostalis ke-5 kiri untuk mengetahui area trikuspidalis/ventikuler amati adanya pulsasi
-   Dari interkosta ke-5 pindah tangan secara lateral 5-7 cm ke garis midklavicula kiri dimana akan ditemukkan daerah apical jantung atau PMI ( point of maximal impuls) temukkan pulsasi kuat pada area ini.
-   Untuk mengetahui pulsasi aorta palpasi pada area epigastika atau dibawah sternum.
Pe =
-   Perkusi dari arah lateral ke medial untuk menentukkan batas jantung bagian kiri,
-   Lakukan perkusi dari sebelah kanan ke kiri untuk mengetahui batas jantung kanan.
-   Lakukan dari atas ke bawah untuk mengetahui batas atas dan bawah jantung
-   Bunyi redup menunjukkan organ jantung ada pada daerah perkusi.
Aus =
-         Menganjurkkan pasien bernafas normal dan menahanya saat ekspirasi selesai
-         Dengarkkan suara jantung dengan meletakkan stetoskop pada interkostalis ke-5 sambil menekan arteri carotis
Bunyi S1: dengarkan suara “LUB” yaitu bunyi dari menutupnya katub mitral (bikuspidalis) dan tikuspidalis pada waktu sistolik.
Bunyi S2: dengarkan suara “DUB” yaitu bunyi meutupnya katub semilunaris (aorta dan pulmonalis) pada saat diastolic.
Adapun bunyi : S3: gagal jantung “LUB-DUB-CEE…”  S4: pada pasien hipertensi “DEE..-LUB-DUB”.

e.      PERUT/ABDOMEN
Tujuan:
-         Untuk mengetahui bentuk dan gerak-gerakkan perut
-         Untuk mendengarkan bunyi pristaltik usus
-         Untuk mengetahui respon nyeri tekan pada organ dalam abdomen
Tindakkan:
I = Amati bentuk perut secara umum, warna kulit, adanya retraksi, penonjolan, adanya ketidak simetrisan, adanya asites.
P = Palpasi ringan: Untuk mengetahui adanya massa dan respon nyeri tekan letakkan telapak tangan pada abdomen secara berhimpitan dan tekan secara merata sesuai kuadran.
      Palpasi dalam: Untuk mengetahui posisi organ dalam seperi hepar, ginjal, limpa dengan metode bimanual/2 tangan.

      HEPAR:
-         Letakkan tangan pemeriksa dengan posisi ujung jari keatas pada bagian hipokondria kanan, kira;kira pada interkosta ke 11-12
-         Tekan saat pasien inhalasi kira-kira sedalam 4-5 cm, rasakan adanya organ hepar. Kaji hepatomegali.

      LIMPA:
-         Metode yang digunakkan seperti pada pemeriksaan hapar
-         Anjurkan pasien miring kanan dan letakkan tangan pada bawah interkosta kiri dan minta pasien mengambil nafas dalam kemudian tekan saat inhalasi tenntukkan adanya limpa.
-         Pada orang dewasa normal tidak teraba

      RENALIS:
-         Untuk palpasi ginjal kanan letakkan tangan pada atas dan bawah perut setinggi Lumbal 3-4 dibawah kosta kanan.
-         Untuk palpasi ginjal kiri letakkan tangan setinggi Lumbal 1-2 di bawah kosta kiri.
-         Tekan sedalam 4-5 cm setelah pasien inhalasi jika teraba adanya ginjal rasakan bentuk, kontur, ukuran, dan respon nyeri.

f.        GENETALIA
TUJUAN
-         Untuk mengetahui adanya lesi
-         Untuk mengetahui adanya infeksi (gonorea, shipilis, dll)
-         Untuk mengetahui kebersihan genetalia
Tindakkan:
§  Genetalia laki-laki:
I = Amati penis mengenai kulit, ukuran dan kelainan lain.
Pada penis yang tidak di sirkumsisi buka prepusium dan amati kepala penis adanya lesi
Amati skrotum apakah ada hernia inguinal, amati bentuk dan ukuran
                             P = Tekan dengan lembut batang penis untuk mengetahui adanya nyeri
Tekan saluran sperma dengan jari dan ibu jari




§  Genetalia wanita:
I = Inspeksi kuantitas dan penyebaran pubis merata atau tidak
Amati adanya lesi, eritema, keputihan/candidiasis
P = Tarik lembut labia mayora dengan jari-jari oleh satu tangan untuk mengetahui keadaan clitoris, selaput dara, orifisium dan perineum.

g.      REKTUM DAN ANAL
Tujuan:
-         Untuk mengetahui kondisi rectum dan anus
-         Untuk mengetahui adanya massa pada rectal
-         Untuk mengetahui adanya pelebaran vena pada rectal/hemoroid
Tindakkan:
-         Posisi pria sims/ berdiri setengah membungkuk, wanita dengan posisi litotomi/terlentang kaki di angkat dan di topang.
-         Inspeksi jaringan perineal dan jaringan sekitarnya kaji adanya lesi dan ulkus
-         Palpasi : ulaskan zat pelumas dan masukkan jari-jari ke rectal dan rasakan adanya nodul dan atau pelebaran vena pada rectum.

h.      PEMERIKSAAN MUSKULOSKELETAL
Tujuan:
-      Untuk memperoleh data dasar tentang otot, tulang dan persendian
-      Untuk mengetahui mobilitas, kekuatan otot, dan gangguan-gangguan pada daerah tertentu.


Tindakkan:
MUSKULI/OTOT:
-         Inspeksi mengenai ukuran dan adanya atrofi dan hipertrofi (ukur dan catat jika ada perbedaan dengan meteran)
-         Palpasi pada otot istirahat dan pada saat otot kontraksi untuk mengetahui adanya kelemahan dan kontraksi tiba-tiba
-         Lakukan uji kekuatan otot dengan menyuruh pasien menarik atau mendorong tangan pemeriksa dan bandingkan tangan ka.ki
-         Amati kekuatan suatu otot dengan memberi penahanan pada anggota gerak atas dan bawah, suruh pasien menahan tangan atau kaki sementara pemeriksa menariknya dari yang lemah sampai yang terkuat amati apakah pasien bisa menahan.

TULANG/OSTIUM:
-         Amati kenormalan dan abnormalan susunan tulang
-         Palpasi untuk mengetahui adanya nyeri tekan dan pembengkakka

PERSENDIAAN/ARTICULASI:
-         Inspeksi semua persendian untuk mengetahui adanya kelainan sendi.
-         Palpasi persendian apakah ada nyeri tekan
-         Kaji range of  mosion/rentang gerak (abduksi-aduksi, rotasi, fleksi-ekstensi, dll)









i.        PEMERIKSAAN SISTEM NEUROLOGI
Tujuan:
-         Untuk mengetahui integritas sistem persyrafan yang meliputi fungsi nervus cranial, sensori, motor dan reflek.
Tindakkan:
§  Pengkajian 12 syaraf cranial (O.O.O.T.T.A.F.A.G.V.A.H)
                                                                   I.            Olfaktorius/penciuman:
o  Meminta pasien membau aroma kopi dan vanilla atau aroma lain yang tidak menyengat. Apakah pasien dapat mengenali aroma.
                                                                II.            Opticus/pengelihatan:
o  Meminta kilen untuk membaca bahan bacaan dan mengenali benda-benda disekitar, jelas atau tidak.
                                                             III.            Okulomotorius/kontriksi dan dilatasi pupil:
Kaji arah pandangan, ukur reaksi pupil terhadap pantulan cahaya  dan akomodasinya.
                                                              IV.            Trokhlear/gerakkan bola mata ke atas dan bawah:
Kaji arah tatapan, minta pasien melihat k etas dan bawah
                                                                 V.            Trigeminal/sensori kulit wajah, pengerak otot rahang:
Sentuh ringan kornea dengan usapan kapas untuk menguji reflek kornea (reflek nagatif (diam)/positif (ada gerkkan))
Ukur sensasi dari sentuhan ringan sampai kuat pada wajah  kaji nyeri menyilang pada kuit wajah
Kaji kemampuan klien untuk mengatupkan gigi saat mempalpasi otot-otot rahang
                                                              VI.            Abdusen/gerakkan bola mata menyamping:
Kaji arah tatapan, minta pasien melihat kesamping ki.ka
                                                           VII.            Facial/ekspresi wajah dan pengecapan:
Meminta klien tersenyum, mengencangkan wajah, menggembungkan pipi, menaikan dan menurunkan alis mata, perhatikkan kesimetrisanya.

                                                        VIII.            Auditorius/pendengaran:
kaji klien terhadap kata-kata yang di bicarakkan, suruh klien mengulangi kata/kalimat.
                                                              IX.            Glosofaringeal/pengecapan, kemampuan menelan, gerakan lidah:
Meminta pasien mengidentifikasi rasa asam, asin, pada bagian pangkal lidah.
Gunakkan penekan lidah untuk menimbulkan “reflek  gag”
Meminta klien untuk mengerakkan lidahnya
                                                                 X.            Vagus/sensasi faring, gerakan pita suara:
Suruh pasien mengucapkan “ah”  kaji gerakkan palatum dan faringeal
Periksa kerasnya suara pasien
                                                              XI.            Asesorius/gerakan kepala dan bahu:
Meminta pasien mengangkat bahu dan memalingkan kepala kearah yang ditahan oleh pemeriksa, kaji dapatkah klien melawan tahanan yang ringan
                                                           XII.            Hipoglosal/posisi lidah:
Meminta klien untuk menjulurkan lidah kearah garis tengah dan menggerakkan ke berbagai sisi.

§  Pengkajian syaraf sensori:
Tindakkan:
-         Minta klien menutup mata
-         Berikkan rasangan pada klien:
Nyeri superficial: gunakkan jarum tumpul dan tekankan pada kulit pasien pada titik-titik yang pemeriksa inginkan, minta pasien untuk mengungkapkan tingkat nyeri dan di bagian mana
Suhu: sentuh klien dengan botol panas dan dingin, suruh pasien mengatakkan sensasi yang direasakan.
Vibrasi: tempelkan garapu tala yang sudah di getarakan dan tempelkan pada falangeal/ujung jari, meminta pasien untuk mengatakkan adanya getaran.
Posisi: tekan ibu jari kaki oleh tangan pemeriksa dan gerakkan naik-turun kemudian berhenti suruh pasien mengtakkan diatas/bawah.
Stereognosis: berikkan pasien benda familiar ( koin atau sendok) dan berikkan waktu beberapa detik, dan suruh pasien untuk mengatakkan benda apa itu.

§  Pengkajian reflex:
1.      Refleks Bisep
-         Fleksikan lengan klien pada bagian siku sampai 45 derajat, dengan posisi tangan pronasi (menghadap ke bawah)
-         Letakkan ibu jari pemeriksa pada fossa antekkubital di dasar tendon bisep dan jari-jari lain diatas tendon bisep
-         Pukul ibu jari anda dengan reflek harmmer, kaji refleks
2.      Refleks Trisep
-         Letakkan lengan tangan bawah pasien diatas tangan pemeriksa
-         Tempatkan lengan bawah diantara fleksi dan ekstensi
-         Meminta pasien untuk merilekkan lengan
-         Raba terisep untuk mmeastikan otot tidak teggang
-         Pukul tendon pada fossa olekrani, kaji reflek

3.      Refleks Patella
-         Minta pasien duduk dan tungkai menggantung di tempat tidur/kursi
-         Rilexkan pasien dan alihkan perhatian untuk menarik kedua tangan di depan dada
-         Pukul tendo patella, kaji refleks
4.      Refleks Brakhioradialis
-         Letakkan lengan tangan bawah pasien diatas tangan pemeriksa
-         Tempatkan lengan bawah diantara fleksi dan ekstensi serta sedikit pronasi
-         Pukul tendo brakhialis pada radius bagian distal dengan bagian datar harmmer, catat reflex.
5.      Reflex Achilles
-         Minta pasien duduk dan tungkai menggantung di tempat tidur/kursi seperti pada pemeriksaan patella
-         Dorsofleksikan telapak kaki dengan tangan pemeriksa
-         Pukul tendo Achilles, kaji reflek
6.      Reflex Plantar (babinsky)
-         Gunakkan benda dengan ketajaman yang sedang (pensil/ballpoint) atau ujung stick harmmer
-         Goreskan pada telapak kaki pasien bagian lateral, dimulai dari ujung telapak kaki sampai dengan sudut telapak jari kelingking lalu belok ke ibu jari. Reflek positif telapak kaki akan tertarik ke dalam.
7.      Refleks Kutaneus
a)      Gluteal
-         Meminta pasien melakukan posisi berbaring miring dan buka celana seperlunya
-         Ransang ringan bagian perineal dengan benda berujung kapas
-         Reflek positif spingter ani berkontraksi
b)      Abdominal
-         Minta klien berdiri/berbaring
-         Tekan kulit abdomen dengan benda berujung kapas dari lateal ke medial, kaji gerakkan reflek otot abdominal
-         Ulangi pada ke-4 kuadran (atas ki.ka dan bawah ki.ka
c)      Kremasterik/pada pria
-         Tekan bagian paha atas dalam menggunakkan benda berujung kapas

-         Normalnya skrotum akan naik/meningkat pada daerah yang diransang
Read More ->>

Pages

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info
Free Taz ani Cursors at www.totallyfreecursors.com

naruto

cctv

Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Followers

About Me

Followers

Popular Posts